Siapapun tahu, bahwa air mata adalah sebagian besar ungkapan sebuah kesedihan. Dalam setiap tetesnya, tersimpan luka yang mungkin diakibatkan oleh goresan pada hatinya. Besar atau kecil goresan itu bukanlah inti masalahnya, melainkan dalamnya luka itu, yang sanggup mengundang setiap tetes demi tetes air mata yang kian mengalir bagaikan anak sungai diantara wajahmu.
Kesedihan, tidak selalu karena cinta pasangan. Kesedihan terberat ialah ketika kita memiliki, namun keadaan memaksa kita untuk bersikap seolah itu bukan milik kita.
Bukankah air mata adalah teman sejati, disaat tak tersedia telinga yang setia dari beberapa teman atau mungkin sahabatmu. Bukankah air mata adalah penawar hati, ketika kesesakan menghimpit dan kita tak tahu harus mengadu pada siapa selain Kepada-Nya. Bukankah air mata awal sebuah senyuman, pada waktu kedua tangan kita menghapusnya dari setiap tetesan di wajah itu.
Lalu, dimanakah letak kesalahan yang telah diperbuat air mata? Sehingga dengan mudah kita menyebutnya sebagai kelemahan? Lantas, dimanakah keadilan yang seharusnya berkata bahwa air mata adalah proses sebuah kebangkitan dari kesedihan? Tidak adakah yang bisa mensyukuri kehadirannya? Tidak adakah yang sanggup merangkulnya dan berkata “ia adalah sahabatku”? Dimana keberanian yang tiba-tiba saja muncul untuk mengundangnya hadir di wajahmu? Semua jawaban itu ada dihatimu. Didalam dirimu.
Jangan pernah menahannya untuk menetes diwajahmu. Jangan perna berpura-pura tegar dengan tak mengakui kehadirannya dalam hari-harimu.
Tapi bijaksanalah untuk bisa berkata, “air mata itu terjatuh untuk menjadi guru dalam sebuah proses kehidupan yang sedang kulalui”. Setelah itu, hentikan setiap tetesannya, dan tersenyumlah dalam semangat yang baru.. 🙂